Headline

Meributkan Sengketa Kewenangan Mahasiswa-Birokrat pada Pelaksanaan OPAK


Sudah menjadi lumrah, jika Persoalan Penerimaan Mahasiswa Baru, menyangkut registrasinya, aturan main, kewenangan dan berbagai tetek bengeknya selalu diributkan dari tahun ke tahun. Jika diusut, sudah tentu dan pasti, perseteruan antara mahasiswa dan birokrat selalu menjadi dasar persoalan. Persoalan tersebut merambah ke berbagai persoalan lain, seperti misalnya sengketa kewenangan.
Pengurus Eksekutif Mahasiswa bersikeras menegaskan, bahwa OPAK adalah “panggung”nya, dan birokrat dilarang mengintervensi. Sementara para birokrat juga mengingatkan, bahwa Lembaga Kemahasiswaan adalah lembaga semi otonom, yang tentu tidak lepas tangan dari birokrat. Mahasiswa menjelaskan bahwa fungsi birokrat dalam kepanitiaan lebih bersifat konsultatif, karena itu seharusnya yang jadi ketua panitia adalah Mahasiswa, bukan dari kalangan birokrat. Birokrat balik membalas, dengan menjelaskan ketidakpercayaannya atas kinerja mahasiswa selama ini. Kenyataan-kenyataan di masa lalu, seperti Mahasiswa yang tak kunjung melaporkan pertanggungjawaban anggaran kegiatan OPAK-nya, materi-materi OPAK yang tidak relevan dengan statuta, serta banyaknya praktek-praktek pungutan liar, menjadi alasan. Mahasiswa juga tak mau kalah. Mereka tetap bersikeras, bahwa mengketuapanitiakan ketua jurusan tetap saja bukan cara yang tepat. Mereka menuntut sebuah rasionalisasi, dan alasan yang tepat. Namun birokrat kembali mengulang laporan-laporan tentang berbagai penyimpangan, saat OPAK diketuai oleh mahasiswa. Mahasiswa belum puas, dan akhirnya kedua elit perwakilan dua unsur civitas akademika kampus ini terus bersitegang.
Berbagai polemik memang terus mewarnai dinamika pelaksanaan OPAK. Kenyataan ini menjadi potret buram, yang menodai citra peradaban islam di kampus hijau ini. Ini menjadi masalah yang cukup pelik untuk diselesaikan. Masalah, dalam sebuah sistem, itu bisa jika terjadi penyimpangan, pada satu atau lebih komponen dalam sistem tersebut. Ada disfungsi, dan tidak bekerjanya satu atau lebih komponen. Jika ini dikiaskan pada persoalan OPAK, bisa saja masalah itu ada karena, kurangnya fungsi koordinasi dan komunikasi, kedangkalan pengetahuan tentang aturan main, tekanan yang datang dari luar pengurus mahasiswa, dan lain-lain.
Beberapa hal diatas dapat disimpulkan, karena melihat berbagai kenyataan yang ada. Misalnya, fungsi panitia OPAK sebagai pengarah dan penuntun, atau sebagai pedagang? Atau apakah barang-barang yang diperdagangkan pada saat OPAK wajib dibeli atau tidak? Ada PD III yang mengklaim, tidak ada masalah di Fakultasnya, sedang sms keluhan tentang adanya pungli di fakultas tersebut “menggugat” di handphone PR III. Ada PD III yang mengklaim, pengurus mahasiswanya telah sepakat dan akur, namun di saat rapat, mahasiswa yang dimaksud justru yang paling getol mengajukan komplain kepada birokrat.
Baik itu birokrat maupun mahasiswa, sudah seharusnya memfungsikan kembali komponen-komponen yang belum berfungsi tersebut. Koodinasi dan komunikasi harus berfungsi dengan baik. Mereka harus mendalami aturan main dengan benar dan saksama. Mahasiswa harus bersikap profesional dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai panitia.
Birokrat juga harus sadar. Beragam aksi dan tindak mahasiswa yang meresahkan itu, seharusnya dimaknai sebagai sebuah simbol-simbol, yang punya arti dan makna. Birokrat harus cermat menangkap makna di balik simbol-simbol itu. Realitas saat ini sudah berubah. Ungkapan “Inakke antu riyolo,” atau, “saya juga dulunya aktivis mahasiswa seperti kamu,” lalu dilanjutkan dengan cerita-cerita tentang lebih cemerlangnya ia di masa lalu, kemudian membandingbandingkannya, sudah bukan alat yang ampuh. Orientasi positivistik, yang berbau pragmatik, telah banyak mempengaruhi pikiran mahasiswa kita hari ini. Birokrat harusnya memahami kondisi ini, dan tidak menyelesaikannya dengan cara konfrontatif. Butuh pendekatan yang lebih bersifat partisipatif. Mahasiswa butuh ruang-ruang khusus untuk berkomunikasi dengan birokrat, di luar ruang-ruang formal yang selalu ada. Sebuah ruang yang baru, lebih terbuka, agar terjalin hubungan harmonis, seperti sebuah ungkapan: “jangan ada dusta di antara kita”.

Post a Comment