Janin Hidup, Janin Mati
Oleh : Suryani Musi
Selalu saja bayang itu menari
di antara deru langit dan gumpalan awan
pada yang bertakbir, yang bergema
sebagai kesaksian al-tamsiahmu
Selalu saja bayang itu menari
di selembar sunyi
sepotong jiwa dari perpaduan dua manusia
merangkak pelan menggapai sajak
berlari pada kecepatan yang luar biasa
hanya, ya hanya pada aku orok yang mendiami perut Bunda
dari sekian juta calon yang mestinya menempati tempat itu
di perut, genderang persaingan telah ditabuh kawan
selalu saja bayang itu menari
di antara cinta dan sujud bunda, di atas sajadah cahaya
membentangkan pancaran sinar penuh harap
kedatanganku yang penuh tangis akan terbayar senyumnya
setelah mengadakan kontrak terhadap si pemilik hidup
Bukan sekedar asal usul kawan
Janin-janin dalam rahim, berlomba-lomba dibuahi
Bau ketuban mengarah pada punting susumu Ibu
Langsung kulahap dan kujilati
Perkara hidup baru saja dimulai
Katanya anak gadis itu,
Rambut kepang dua, gaun merah muda
Boneka di tangan, ah..itu hanya mimpi Ibunda
Juga mungkin Ayahanda
kejap yang begitu singkat
seribu bintang menyisakan kecemasan
dalam denyut gelisah yang mendebarkan
kuhadir
di dunia ini
tidak, tidak ada tangis, tidak ada senyum bunda
tidak ada yang perlu disesali
aku memang terlahir di negeri para monster kanibal
Bukan sekedar asal usul kawan
Saat udara kuhirup, sesak
Alirannya tertekan di jantung
Menembus nadiku
Pecah, mengaliri shympony jiwa
aku lelah
kuikrarkan janji seakan mencoba menyingkap tirai kegaiban
namun rupanya aku tetap aku
yang tak mampu menjelaskan
yang tak mampu berkata
yang tak mampu mengisahkan apa-apa
langit menangis
bumi menangis
semuanya menangis
kemudian rukuk dalam hening takbiratulihram
Bukan sekedar asal usul kawan
Embun yang tidak tak tersalurkan
Terkubur di pori-pori,
batin berkaca-kaca
malam diam-diam rebah
kian pudar dipendar kabut tua
kecewa
aku telah menghianati mereka
aku hanya mampu diam selama-lamanya
ya selama-lamanya
biarlah kaum-kaum elite yang terhormat itu melindasku pada tariannya
biarlah
Sudah kulupa, kapan jiwa ini merdeka
Dan aku mencetak diri di selembar naskah
Aku terisolasi, beradaptasi
Menjadi orang lain, yang bukan diri sendiri
Lalu kurangkul kata, kucumbui irama
Berpeluh gairah, kusetubuhi waktu
Di lubang nafsu
Sketsa atas diriku, sajian tanganku
Lewat syair, lewat melodi
Hanya bagian dari imajinerku
Birahi yang tidak tak tersalurkan
Gairah ini bergejolak, gerak menampar kesadaranku
tentang pentingnya kata, melodi, instrument hidup
dan menyeretku dalam sandiwaraku
Janin-janin di tubuhku gelisah
Lalu kubuahi dengan sempurna
Keluar dari dinding rahim otakku
Kugarap kelahirannya
Pada bibir-bibir panggung
Kedua bibirku melebar
tawa pecah didetik terakhir
Janin itu cacat, penumbra
Anak-anak kalian terlahir, terlantar
Selalu saja bayang itu menari
di antara deru langit dan gumpalan awan
pada yang bertakbir, yang bergema
sebagai kesaksian al-tamsiahmu
Selalu saja bayang itu menari
di selembar sunyi
sepotong jiwa dari perpaduan dua manusia
merangkak pelan menggapai sajak
berlari pada kecepatan yang luar biasa
hanya, ya hanya pada aku orok yang mendiami perut Bunda
dari sekian juta calon yang mestinya menempati tempat itu
di perut, genderang persaingan telah ditabuh kawan
selalu saja bayang itu menari
di antara cinta dan sujud bunda, di atas sajadah cahaya
membentangkan pancaran sinar penuh harap
kedatanganku yang penuh tangis akan terbayar senyumnya
setelah mengadakan kontrak terhadap si pemilik hidup
Bukan sekedar asal usul kawan
Janin-janin dalam rahim, berlomba-lomba dibuahi
Bau ketuban mengarah pada punting susumu Ibu
Langsung kulahap dan kujilati
Perkara hidup baru saja dimulai
Katanya anak gadis itu,
Rambut kepang dua, gaun merah muda
Boneka di tangan, ah..itu hanya mimpi Ibunda
Juga mungkin Ayahanda
kejap yang begitu singkat
seribu bintang menyisakan kecemasan
dalam denyut gelisah yang mendebarkan
kuhadir
di dunia ini
tidak, tidak ada tangis, tidak ada senyum bunda
tidak ada yang perlu disesali
aku memang terlahir di negeri para monster kanibal
Bukan sekedar asal usul kawan
Saat udara kuhirup, sesak
Alirannya tertekan di jantung
Menembus nadiku
Pecah, mengaliri shympony jiwa
aku lelah
kuikrarkan janji seakan mencoba menyingkap tirai kegaiban
namun rupanya aku tetap aku
yang tak mampu menjelaskan
yang tak mampu berkata
yang tak mampu mengisahkan apa-apa
langit menangis
bumi menangis
semuanya menangis
kemudian rukuk dalam hening takbiratulihram
Bukan sekedar asal usul kawan
Embun yang tidak tak tersalurkan
Terkubur di pori-pori,
batin berkaca-kaca
malam diam-diam rebah
kian pudar dipendar kabut tua
kecewa
aku telah menghianati mereka
aku hanya mampu diam selama-lamanya
ya selama-lamanya
biarlah kaum-kaum elite yang terhormat itu melindasku pada tariannya
biarlah
Sudah kulupa, kapan jiwa ini merdeka
Dan aku mencetak diri di selembar naskah
Aku terisolasi, beradaptasi
Menjadi orang lain, yang bukan diri sendiri
Lalu kurangkul kata, kucumbui irama
Berpeluh gairah, kusetubuhi waktu
Di lubang nafsu
Sketsa atas diriku, sajian tanganku
Lewat syair, lewat melodi
Hanya bagian dari imajinerku
Birahi yang tidak tak tersalurkan
Gairah ini bergejolak, gerak menampar kesadaranku
tentang pentingnya kata, melodi, instrument hidup
dan menyeretku dalam sandiwaraku
Janin-janin di tubuhku gelisah
Lalu kubuahi dengan sempurna
Keluar dari dinding rahim otakku
Kugarap kelahirannya
Pada bibir-bibir panggung
Kedua bibirku melebar
tawa pecah didetik terakhir
Janin itu cacat, penumbra
Anak-anak kalian terlahir, terlantar
Post a Comment